Selasa, 13 November 2007

KORUPTOR dan PENJARA, SEBUAH DILEMMA

Prioritas pemberantasan korupsi yang diusung oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono ternyata menambah daftar baru jenis kejahatan di Indonesia yaitu kejahatan korupsi dan secara simetris berdampak pula terhadap munculnya narapidana dengan predikat/gelar baru sebagai penghuni penjara yaitu koruptor. Sampai akhir Februari 2006, di penjara Cipinang setidaknya 71 (tujuh puluh satu) orang terregistrasi/terdaftar sebagai narapidana dengan gelar koruptor.
Keberadaan koruptor di dalam penjara, di satu sisi merupakan salah satu indikator keberhasilan pemberantasan korupsi, di sisi lain keberadaan mereka di penjara justru menjadi dilemma tersendiri dalam tatacara pembinaan dan perlakuannya sehari-hari. Dipandang dari sudut manapun koruptor memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda dengan narapidana lainnya. Dengan kerangka berfikir yang lebih realitis dan pragmatis, tulisan singkat ini mencoba membuka wawasan lain tentang dilemma pembedaan dalam tatacara pembinaan dan pelayanan yang diberikann oleh para petugas penjara (sipier) terhadap para koruptor.
Dilemma dan realitas
Sistem pemasyarakatan sebagai dasar filosofis pelaksanaan pembinaan narapidana di Indonesia dibangun dari asumsi teori sosio kriminologis yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan produk dari struktur masyarakat yang tidak memberikan kesempatan ekonomi sama kepada setiap individu dalam masyarakat tersebut (Anomie). Dalam struktur masyarakat demikian, individu yang tidak memiliki kesempatan ekonomi yang sama (masyarakat bawah) akan cenderung untuk melakukan penyimpangan/tindak kejahatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya/rasionalitas ekonomi.
Dari asumsi yang dibangun oleh teori tersebut, maka dalam tataran kebijakan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai pedoman petugas penjara dalam melakukan pembinaan dan perawatan narapidana. Apabila dipelajari lebih lanjut, materi dalam undang-undang tersebut lebih banyak mengatur tentang tatacara pembinaan narapidana kelas bawah dengan 2 (dua) tujuan utama yaitu : (1) Menyadarkan mereka agar menyesali perbuatannya yang jahat dan, (2) Memberikan bekal ketrampilan agar setelah bebas dari penjara dapat hidup normal di tengah masyarakat, dalam arti mampu untuk mencari makan sendiri.
Namun demikian, dalam realitas sosialnya kejahatan bukan hanya milik masyarakat bawah (blue crime) seperti pencurian, pencopetan dan lain lian, tetapi juga milik masyarakat atas (white collar crime) seperti pencucian uang, korupsi, kejahatan komputer dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian maka, Sistem Pemasyarakatan dan UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai kerangka acuan pembinaan dan perawatan narapidana secara teoritis tentu tidak kompatibel/sesuai untuk menghadapi para koruptor di dalam penjara. Sungguh suatu dilemma berat yang harus dihadapi.
Sama dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di luar penjara. Narapidana di dalam Penjara sebagai miniatur masyarakat juga memiliki kondisi sosial ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar penjara. Perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin dalam hal fasilitas hidup di penjara merupakan fenomena yang wajar dan sering terjadi di dalam penjara mengingat dalam tataran masyarakat luas-pun kondisinya juga demikian. Di satu sisi, kemampuan negara untuk menyediakan berbagai macam fasilitas di dalam penjara yang sesuai dengan kemanusiaan (standard kebutuhan hidup minimum) masih sangat jauh dari harapan. Kondisi sel yang padat (over crowded), menu makanan yang jelek, sarana dan prasarana kesehatan dasar yang tidak memadai merupakan kondisi kehidupan dalam penjara sekarang ini. Padahal sejak tahun 1960-an Indonesia sudah meratifikasi SMR (Standard Minimun Rules For Treatment Of Offender) yang dikeluarkan PBB sebagai instrument internasional yang mengatur tentang standar fasilatas, peraturan narapidana dan tatacara pembinaan dan perlakuan yang harus dilakukan petugas penjara. Kemampuan negara untuk menyediakan fasilitas hidup yang wajar dan sesuai dengan nilai kemanusiaan terhadap seluruh narapidana merupakan kunci penyelesaian masalah perbedaan perlakuan dan fasilitas di dalam penjara. Kapasitas ruangan/sel untuk 10 orang narapidana diisi dengan 40 orang narapidana merupakan kondisi yang wajar dan sering terjadi di Indonesia. Penjara merupakan tempat penularan dan inkubasi berbagai macam penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS, Hepatitis, TBC dan lain sebagainya.
Dar gambaran kondisi lembaga pemasyarakatan tersebut, satu langkah yang tidak bijaksana apabila petugas penjara menempatkan Probo Sutejo bersama-sama dengan 39 orang narapidana dalam satu sel sempit yang seharusnya hanya cukup untuk 10 orang. Bukankah negara tidak berhak membuat kondisi seorang narapidana lebih buruk daripada kondisi dia sebelum masuk penjara ?
Pemberdayaan dan Pembentukan Budaya Malu (Shaming)
Seorang koruptor di dalam penjara, memiliki kemampuan intelektual dan sumber daya jaringan yang lebih dibanding narapidana lainnya, bahkan dalam realitasnya kemampuan yang mereka miliki lebih besar dibanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh petugas pembinanya. Dengan berbagai kelebihan tersebut, seorang koruptor disamping mendapatkan hukuman penjara dan denda sudah sewajarnya apabila mereka diberikan hukuman tambahan yang berupa kerja sosial yaitu dengan memberdayakan kemampuan mereka untuk turut serta dalam pembinaan narapidana lainnya di dalam penjara.
Dengan kerja sosial yang mereka lakukan, mereka dapat memahami, merasa malu (shaming) dan sadar bahwa korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan dan stabilitas perekonomian negara yang dampaknya secara langsung dapat dilihat dari semakin meningkatnya angka kejahatan di masyarakat.
Pemberdayaan koruptor dalam pembinaan narapidana, dalam beberapa kasus sebenarnya sudah pernah dilaksanakan di beberapa penjara di Indonesia seperti Bob Hasan di Nusa Kambangan dengan pemberdayaan usaha kerajinan batu akik, Ricardo Gallael di Cipinang dengan usaha peternakan ayam bekerjasama dengan KFC (Kentucky Fried Chicken) dalam pemasaran.
Dalam prakteknya, pemberdayaan tersebut di atas bukan merupakan sebuah kewajiban/program rutin yang sustainable yang harus dilaksanakan terhadap para koruptor. Sistem pembinaan yang tidak kompatibel dan ketiadaan peraturan yang secara eksplisit mengatur/mendasari kegiatan tersebut merupakan kendala utama dalam pemberdayaan koruptor di dalam penjara. Padahal dengan pemberdayaan koruptor dalam pembinaan yang produktif setidak-tidaknya akan memberikan 4 (empat) manfaat besar bagi negara dan narapidana secara keseluruhan yaitu (1) Timbulnya rasa malu dan kesadaran dalam diri koruptor bahwa perbuatan korup merupakan perbuatan yang salah dan secara empiris merugikan masyarakat dan diri sendiri, (2) Upah yang diperoleh narapidana dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga dan diri mereka di dalam penjara. (3) Adanya pendapatan negara yang diperoleh dari kegiatan pembinaan produktif, dan tentu saja akan dikembalikan lagi dalam bentuk pembangunan gedung penjara dan penyediaan sarana lainnya, (4) Dengan keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembinaan yang produktif, merupakan satu pertimbangan untuk mendapatkan pemotongan masa hukuman (remisi) yang lebih besar, baik bagi koruptor maupun bagi narapidana lainnya, Bukankah semakin cepat narapidana bebas dari penjara maka semakin kecil pula negara menyediakan dana untuk mereka.
Pembedaan pembinaan dan perlakuan terhadap para koruptor di dalam penjara merupakan sesuatu yang wajar dan seharusnya memang wajib dibedakan mengingat dampak buruk dari kejahatan yang mereka lakukan. Pembedaan dalam arti yang positif, realistis dan pragmatis justru akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi pembinaan narapidana secara keseluruhan.

Tidak ada komentar: