Senin, 19 November 2007

PENJARA vs VONIS HAKIM

Putusan pidana penjara (vonis) oleh hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan sebuah keputusan yang tidak dapat diubah materi putusannya, namun di tangan Lembaga Pemasyarakatan realitas pelaksanaan materi putusan bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan sebuah perubahan.

Sebagai juru kunci dalam sistem peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan/lapas seringkali luput dari perhatian masyarakat. Derasnya tuntutan akan reformasi hukum sama sekali tidak menyentuh posisi lapas sebagai salah satu bagian dari sistem tersebut. Masyarakat seringkali hanya memahami, bahwa proses penegakan hukum pidana hanya berkisar pada permasalahan bagaimana menghukum seorang pelaku kejahatan dengan pidana penjara tanpa pernah memahami bagimana selanjutnya pidana penjara tersebut kemudian dilaksanakan di dalam lapas.
Lapas merupakan tempat dimana sebuah putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap diramu dan diolah sedemikian rupa sehingga pidana penjara tersebut benar-benar mampu untuk melindungi kepentingan terpidana dan sekaligus menjaga rasa keadilan masyarakat. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana cara lapas meramu dan mengolah sebuah putusan hakim sehingga mampu melindungi kepantingan terpidana dan menjaga rasa keadilan masyarakat.

Perubah Putusan Hakim

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, terdapat tiga lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap sebuah putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu (1) Presiden sebagai kepala negara dengan mekanisme Grasi, Amnesti dan Abolisi sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara, (2) Hakim melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) apabila terdapat bukti baru sebagaimana yang diatur oleh KUHAP, dan (3) Lembaga Pemasyarakatan dengan berbagai macam mekanisme sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Beberapa mekanisme yang mengatur tentang bagaimana lapas melakukan perubahan terhadap sebuah putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu :
Pertama : Lapas berwenang mengusulkan perubahan atas pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara 20 (dua puluh) tahun apabila terpidana seumur hidup tersebut berkelakuan baik di dalam lapas selama 5 (lima) tahun berturut-turut. Contoh : Terpidana kasus korupsi Bank BNI Andrian Herling Woworuntu yang dipidana seumur hidup oleh Mahkamah Agung RI, apabila berkelakuan baik di dalam lapas selama 5 (lima) tahun berturut-turut tidak menutup kemungkinan pidana seumur hidupnya akan berubah menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun dan jika kemudian setelah itu diberikan hak remisi dan pembebasan bersyarat, kesempatan untuk menghirup udara bebas bagi Andrian Woworuntu bukan hal yang mustahil.
Kedua : Lapas berwenang mengusulkan pemberian hak pembebasan bersyarat kepada seorang narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya di dalam lapas. Ditambah dengan kombinasi pemberian pembebasan bersyarat dan remisi maka, seorang terpidana penjara dimungkinkan lebih cepat bebas.
Dalam hal ini Anak mantan Presiden Suharto yang dipidana penjara 10 (sepuluh) tahun oleh Mahkamah Agung dapat diambil contoh. Dengan pemberian hak pembebasan bersyarat, Tomi Suharto dapat dipastikan hanya akan menjalani pidananya kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun dan apabila ditambah lagi dengan hak remisi yang telah diterimanya mungkin akan lebih singkat lagi.
Ketiga : Lapas berwenang mengusulkan pemberian hak cuti menjelang bebas kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 dari masa pidanannya dan berkelakuan baik selama di dalam lapas. Besarnya waktu cuti menjelang bebas adalah sama dengan jumlah remisi terakhir yang diterima oleh terpidana tersebut. jadi terpidana yang pada tahun berjalan mendapatkan remisi satu bulan maka, besarnya waktu cuti menjelang bebas yang dapat diperoleh adalah satu bulan juga.
Contoh : Probo Sutejo yang baru-baru ini dipidana 4 (empat) tahun oleh Mahkamah Agung, jika selama keberadaannya di dalam lapas berkelakuan baik, maka setelah menjalani 2/3 dari masa pidananya Probo Sutejo dapat diberikan hak cuti menjelang bebas yang besarnya sama dengan jumlah remisi yang telah diterima pada tahun ketiga. Dengan pemberian remisi dan cuti menjelang bebas dapat dipastikan Probo Sutejo tidak akan menjalani pidana pejara selama empat tahun penuh sebagaimana yang ditetapkan oleh hakim dalam putusannya tetapi lebih singkat lagi.
Keempat : Lapas berwenang mengusulkan pemberian hak remisi kepada terpidana yang bukan residivis dan berkelakuan baik selama di dalam lapas. Pemberian remisi kepada narapidana dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu pada saat ulang tahun hari kemerdekaan dan perayaan hari besar keagamaan. Besarnya jumlah remisi yang diterima tidak sama, tergantung pada sudah berapa lama terpidana tersebut menjalani masa pidanannya dan kelakuan baik selama di dalam lapas.
Contoh : Seseorang yang dikatakan teroris-pun apabila dia selama berada di dalam lapas berkelakuan baik pasti akan mendapatkan remisi yang sudah menjadi haknya..
Sebuah putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, pada realitas pelaksanaannya di dalam lapas bukan merupakan suatu harga mati yang harus dilaksanakan sesuai dengan dictum yang tertulis dalam putusan tersebut. Proses peramuan dan pegolahan yang dilakukan lapas terhadap putusan hakim akan menghasilkan sebuah perubahan terhadap putusan tersebut, dimana nilai perubahan yang dihasilkan sangat tergantung pada bumbu yang diberikan yaitu perilaku terpidana itu sendiri.

Diskresi dan Penyimpangan

Proses peradilan pidana tidak hanya berhenti pada tahapan sesaat setelah hakim menjatuhkan putusan pidanannya yang kemudian disusul dengan eksekusi terpidana masuk ke dalam lapas, tetapi proses peradilan pidana dapat dikatakan selesai apabila terpidana tersebut memasuki tahapan bebas dari dalam lapas.
Sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh unsur-unsur lain dalam sistem peradilan pidana. Lapas dalam melaksanakan kewenangannya meramu dan mengolah sebuah putusan hakim, seringkali melakukan diskresi yang cenderung menyimpang, penilaian yang tidak obeyektif atas perilaku terpidana karena tidak adanya standar baku, prosedur yang berbelit-belit dan beban persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh terpidana seringkali menjadi beban tambahan bagi terpidana disamping beban pidana yang memang harus ditanggungnya.
Kehadiran kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat advokasi, pengacara, keluarga terpidana dan lain-lain yang berfungsi sebagai kelompok penekan dan pendamping dalam pelaksanaan pidana penjara di dalam lapas merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam rangka melindungi kepentingan terpidana di dalam lapas dan sekaligus menjaga rasa keadilan masyarakat.

Tidak ada komentar: