Senin, 26 November 2007

NARKOBA DAN PENJARA

Ibarat tak putus dirundung masalah itulah nasib penjara kita sekarang ini, pengendalian dan peredaran narkoba, isu jual beli kamar, suap untuk mendapatkan fasilitas mewah di dalam penjara, pelaksanaan prosedur yang serampangan dalam kasus pembebasan Adelin Lis dan terakhir tertangkapnya Roy Marten dengan sabu-sabu yang kabarnya juga diperoleh dari dalam penjara merupakan contoh dari amburadulnya pengelolaan penjara kita.
Permasalahan di dalam penjara yang muncul sekarang ini ibarat gunung es yang hanya kelihatan puncaknya saja, padahal dalam realitasnya masih banyak permasalahan lain yang tertutup rapat di balik tembok penjara. Dalam tulisan pendek ini saya mencoba menguraikan fakta peredaran narkoba di penjara dan solusi terbaik yang mungkin dapat di ambil.

Simplikasi Permasalahan

Setiap peristiwa negatif yang terjadi di penjara seperti peredaran narkoba, kerusuhan, penyuapan, pungutan liar, kaburnya narapidana, seringkali disimplifikasikan sebagai dampak dari kondisi penjara yang padat (over crowded) dan rasio petugas (sipir) yang tidak cukup. Kedua permasalahan tersebut seringkali dijadikan kambing hitam oleh pengelola penjara, seolah-olah tidak dapat diselesaikan dan memang tidak akan diselesaikan. Padahal dalam beberapa kasus di Indonesia, peredaran narkoba di penjara bukan hanya hasil dari simplikasi dua masalah tersebut tetapi lebih disebabkan oleh faktor tidak efektif koordinasi antar penegak hukum dalam penanganan kejahatan narkoba, tidak berkualitasnya peraturan hukum yang ada, rendahnya integritas moral, rendahnya kesejahteraan dan disiplin petugas penjara sehingga berdampak pada serampangannya pelaksanaan prosedur tetap (SOP).

Narkoba di Penjara

Peredaran narkoba yang melibatkan narapidana merupakan satu permasalahan kronis yang di hadapi oleh penjara kita sekarang ini. Penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2006), dan Ika (2006) di salah satu penjara di Jakarta setidaknya menemukan satu temuan bahwa di penjara tersebut ada beberapa bandar narkoba yang masih mengedarkan narkoba baik di dalam penjara kepada sesama narapidana maupun kepada masyarakat di luar rutan, dan ironisnya peredaran narkoba tersebut seringkali melibatkan oknum petugas penjara.
Dalam sistem hukum Indonesia yang memperlakukan sama terhadap para pengedar dan pemakai narkoba yaitu sama-sama dijatuhi pidana penjara dan kemudian dikirim ke satu lokasi yang sama juga yaitu penjara. Dengan sistem hukum yang demikian maka, masalah peredaran narkoba di dalam penjara mustahil dapat diselesaikan. Fungsi penjara yang seharusnya memutus rantai peredaran narkoba justru mendekatkan rantai distribusi narkoba antara pengedar dan konsumen. Lebih parah lagi apabila di dalam penjara juga terdapat pabrik narkoba seperti yang pernah ditemukan di rutan Surabaya (2007) maka, rantai peredaran narkoba antara produksi, distribusi dan konsumsi dari produsen, pengedar dan konsumen lebih pendek dan mudah.
Kondisi hukum yang sangat kondusif bagi menjamurnya peredaran narkoba di dalam penjara ternyata lebih diperparah lagi oleh rendahnya integritas moral aparatur hukum kita. Sekarang ini, aparatur penegak hukum kita mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan tidak bekerja untuk kehormatan dan keadilan tetapi semata-mata untuk kepentingan dan kemewahan pribadi. Maraknya peredaran narkoba yang seringkali melibatkan petugas penjara jika tidak ada langkah kongkret memberantasnya maka, akan menimbulkan satu kecurigaan kepada kita “Jangan-jangan penjara juga dikelola dengan bantuan uang narkoba ?
Pembiaran dan permisif-nya pengelola penjara terhadap tindak kejahatan narkoba yang melibatkan narapidana dan oknum petugas maka, akan menggiring institusi penjara sebagai pelaku kejahatan (state crime).

Rekomendasi

Peredaran narkoba di penjara merupakan penyakit yang sangat serius dalam penegakan hukum di Indonesia sekarang ini, Bagaimana tidak, “Dana rakyat yang dengan sukarela dipercayakan kepada negara untuk membina narapidana agar mereka sadar, yang terjadi justru mereka menjadi lebih canggih setelah keluar dari penjara” Langkah kongkret yang dapat diambil dalam rangka mengurai maraknya peredaran narkoba dan amburadulnya manajemen penjara adalah : 1) Putuskan mekanisme permintaan dan penawaran narkoba dengan menempatkan pengedar ke penjara pengamanan super maksimun (super maximum security) dan sebaliknya bagi pengguna narkoba tempatkan pada penjara yang lebih menekankan pada program rehabilitasi, 2) Penerapan sanksi hukum yang tegas bagi sipir penjara yang terlibat dalam peredaran narkoba baik di dalam maupun di luar penjara. 3) Peningkatan kesejahteraan sipir. Diakui atau tidak diakui, gaji sipir penjara kita masih rendah dibanding dengan kebutuhan hidup minimum. Untuk menutup kekurangan tersebut, seringkali sipir tergoda untuk menyelundupkan narkoba ke penjara dengan imbalan uang. Padahal dari penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2006), uang suap yang mereka terima tidak seberapa besar paling sekitar Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) untuk sekali antar dalam satu minggu.
Penjara merupakan minatur dari masyarakat, amburadulnya kondisi penjara kita, mencerminkan betapa amburadulnya kondisi masyarakat kita sekarang ini.

Senin, 19 November 2007

PENJARA vs VONIS HAKIM

Putusan pidana penjara (vonis) oleh hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap merupakan sebuah keputusan yang tidak dapat diubah materi putusannya, namun di tangan Lembaga Pemasyarakatan realitas pelaksanaan materi putusan bukanlah hal yang mustahil untuk dilakukan sebuah perubahan.

Sebagai juru kunci dalam sistem peradilan pidana, lembaga pemasyarakatan/lapas seringkali luput dari perhatian masyarakat. Derasnya tuntutan akan reformasi hukum sama sekali tidak menyentuh posisi lapas sebagai salah satu bagian dari sistem tersebut. Masyarakat seringkali hanya memahami, bahwa proses penegakan hukum pidana hanya berkisar pada permasalahan bagaimana menghukum seorang pelaku kejahatan dengan pidana penjara tanpa pernah memahami bagimana selanjutnya pidana penjara tersebut kemudian dilaksanakan di dalam lapas.
Lapas merupakan tempat dimana sebuah putusan hakim yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap diramu dan diolah sedemikian rupa sehingga pidana penjara tersebut benar-benar mampu untuk melindungi kepentingan terpidana dan sekaligus menjaga rasa keadilan masyarakat. Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bagaimana cara lapas meramu dan mengolah sebuah putusan hakim sehingga mampu melindungi kepantingan terpidana dan menjaga rasa keadilan masyarakat.

Perubah Putusan Hakim

Dalam sistem hukum pidana di Indonesia, terdapat tiga lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan perubahan terhadap sebuah putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu (1) Presiden sebagai kepala negara dengan mekanisme Grasi, Amnesti dan Abolisi sebagaimana yang diatur dalam konstitusi negara, (2) Hakim melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK) apabila terdapat bukti baru sebagaimana yang diatur oleh KUHAP, dan (3) Lembaga Pemasyarakatan dengan berbagai macam mekanisme sebagaimana yang diatur dalam KUHP dan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.
Beberapa mekanisme yang mengatur tentang bagaimana lapas melakukan perubahan terhadap sebuah putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yaitu :
Pertama : Lapas berwenang mengusulkan perubahan atas pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara 20 (dua puluh) tahun apabila terpidana seumur hidup tersebut berkelakuan baik di dalam lapas selama 5 (lima) tahun berturut-turut. Contoh : Terpidana kasus korupsi Bank BNI Andrian Herling Woworuntu yang dipidana seumur hidup oleh Mahkamah Agung RI, apabila berkelakuan baik di dalam lapas selama 5 (lima) tahun berturut-turut tidak menutup kemungkinan pidana seumur hidupnya akan berubah menjadi pidana penjara 20 (dua puluh) tahun dan jika kemudian setelah itu diberikan hak remisi dan pembebasan bersyarat, kesempatan untuk menghirup udara bebas bagi Andrian Woworuntu bukan hal yang mustahil.
Kedua : Lapas berwenang mengusulkan pemberian hak pembebasan bersyarat kepada seorang narapidana yang berkelakuan baik dan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) dari masa pidananya di dalam lapas. Ditambah dengan kombinasi pemberian pembebasan bersyarat dan remisi maka, seorang terpidana penjara dimungkinkan lebih cepat bebas.
Dalam hal ini Anak mantan Presiden Suharto yang dipidana penjara 10 (sepuluh) tahun oleh Mahkamah Agung dapat diambil contoh. Dengan pemberian hak pembebasan bersyarat, Tomi Suharto dapat dipastikan hanya akan menjalani pidananya kurang lebih selama 7 (tujuh) tahun dan apabila ditambah lagi dengan hak remisi yang telah diterimanya mungkin akan lebih singkat lagi.
Ketiga : Lapas berwenang mengusulkan pemberian hak cuti menjelang bebas kepada terpidana yang telah menjalani 2/3 dari masa pidanannya dan berkelakuan baik selama di dalam lapas. Besarnya waktu cuti menjelang bebas adalah sama dengan jumlah remisi terakhir yang diterima oleh terpidana tersebut. jadi terpidana yang pada tahun berjalan mendapatkan remisi satu bulan maka, besarnya waktu cuti menjelang bebas yang dapat diperoleh adalah satu bulan juga.
Contoh : Probo Sutejo yang baru-baru ini dipidana 4 (empat) tahun oleh Mahkamah Agung, jika selama keberadaannya di dalam lapas berkelakuan baik, maka setelah menjalani 2/3 dari masa pidananya Probo Sutejo dapat diberikan hak cuti menjelang bebas yang besarnya sama dengan jumlah remisi yang telah diterima pada tahun ketiga. Dengan pemberian remisi dan cuti menjelang bebas dapat dipastikan Probo Sutejo tidak akan menjalani pidana pejara selama empat tahun penuh sebagaimana yang ditetapkan oleh hakim dalam putusannya tetapi lebih singkat lagi.
Keempat : Lapas berwenang mengusulkan pemberian hak remisi kepada terpidana yang bukan residivis dan berkelakuan baik selama di dalam lapas. Pemberian remisi kepada narapidana dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun yaitu pada saat ulang tahun hari kemerdekaan dan perayaan hari besar keagamaan. Besarnya jumlah remisi yang diterima tidak sama, tergantung pada sudah berapa lama terpidana tersebut menjalani masa pidanannya dan kelakuan baik selama di dalam lapas.
Contoh : Seseorang yang dikatakan teroris-pun apabila dia selama berada di dalam lapas berkelakuan baik pasti akan mendapatkan remisi yang sudah menjadi haknya..
Sebuah putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, pada realitas pelaksanaannya di dalam lapas bukan merupakan suatu harga mati yang harus dilaksanakan sesuai dengan dictum yang tertulis dalam putusan tersebut. Proses peramuan dan pegolahan yang dilakukan lapas terhadap putusan hakim akan menghasilkan sebuah perubahan terhadap putusan tersebut, dimana nilai perubahan yang dihasilkan sangat tergantung pada bumbu yang diberikan yaitu perilaku terpidana itu sendiri.

Diskresi dan Penyimpangan

Proses peradilan pidana tidak hanya berhenti pada tahapan sesaat setelah hakim menjatuhkan putusan pidanannya yang kemudian disusul dengan eksekusi terpidana masuk ke dalam lapas, tetapi proses peradilan pidana dapat dikatakan selesai apabila terpidana tersebut memasuki tahapan bebas dari dalam lapas.
Sama dengan permasalahan yang dihadapi oleh unsur-unsur lain dalam sistem peradilan pidana. Lapas dalam melaksanakan kewenangannya meramu dan mengolah sebuah putusan hakim, seringkali melakukan diskresi yang cenderung menyimpang, penilaian yang tidak obeyektif atas perilaku terpidana karena tidak adanya standar baku, prosedur yang berbelit-belit dan beban persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh terpidana seringkali menjadi beban tambahan bagi terpidana disamping beban pidana yang memang harus ditanggungnya.
Kehadiran kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat advokasi, pengacara, keluarga terpidana dan lain-lain yang berfungsi sebagai kelompok penekan dan pendamping dalam pelaksanaan pidana penjara di dalam lapas merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan dalam rangka melindungi kepentingan terpidana di dalam lapas dan sekaligus menjaga rasa keadilan masyarakat.

Selasa, 13 November 2007

SEGUDANG MASALAH DI PENJARA

Carut marutnya Sistem Peradilan Pidana kita teryata tidak hanya dihadapi oleh Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan saja, Penjara-pun sebagai bagian dari sistem tersebut ternyata menghadapi persoalan yang sama.

Ibarat tak putus dirundung masalah itulah nasib penjara kita sekarang ini, isu jual beli kamar, suap untuk untuk mendapatkan jaminan keamanan, fasilatas dan kenyamanan hidup, pungutan liar, (Kompas, 25 April 2006) dan terakhir kaburnya narapidana hukuman mati Gunawan Santosa (Kamis, 05 April 2006) merupakan permasalahan klasik yang harus dihadapi oleh penjara kita.
Dalam realitasnya, permasalahan tersebut kalau diumpamakan seperti lahar gunung merapi yang muncul kepermukaan bumi, padalah magma panas yang ada di dalamnya tentu akan jauh lebih besar.
Penjara dan masalahnya
Mendiskusikan permasalahan yang tersimpan rapat di penjara serapat dengan gedungnya, setidaknya ada dua penelitian yang pernah dilakukan oleh ilmuwan tentang hal tersebut yaitu penelitian yang dilakukan oleh Gerald Leiwand (Prison,1972) di Amerika Serikat dan Kiran Bedi (2002) di India.
Gerald Leinwad (1979) dalam penelitiannya mengungkapkan beberapa permasalahan sebagai penyakit yang dihadapi oleh penjara-penjara di Amerika Serikat pada waktu yaitu (1) Kekurangan dana (2) Narapidana/penghuni yang padat, (3) Ketrampilan, gaji dan moral petugas yang rendah, (4) kekurangan tenaga profesional, (5) Prosedur pembinaan yang sampangan (parole dll), (6) Makanan yang jelek dan tidak memadai, (7) Kesempatan kerja konstruktif yang sempit dan waktu rekreasi yang minim, (8) Kurangnya kegiatan-kegitan yang sifatnya mendidik, (9) hukuman yang lama tanpa peninjauan oleh pengadilan, (10) Homoseksual yang keras, (11) Peredaran dan kecanduan narkoba, serta kejahatan-kejahatan lainnya di penjara, (11) Hukuman yang keras dan kejam terhadap pelanggaran peraturan dan (12) Ketegangan rasial yang seringkali menjurus ke arah kerusuhan massal. Sedangkan dalam penelitiannya Kiran Bedi (2003) juga menyimpulkan hasil yang sama bahwa penjara di India-pun juga menghadapi permasalahan yang sama seperti di Amerika Serikat. Sebagai tambahan pada saat melakukan penelitian, Kiran Bedi adalah seorang perempuan yang menjabat sebagai kepala penjara terbesar di India.
Realitasnya di Indonesia, penjara keberadaan dan fungsinya seringkali dilupakan dalam benak masyarakat Indonesia (entah karena pema’af atau pendendam). Penjara hanya akan diingat ketika ada pejabat atau pengusaha yang masuk. Keadaan demikian seringkali permasalahan (kemanusiaan) yang ada dipenjara juga dilupakan, padalah permasalahan yang membuat carut marutnya wajah penjara di Indonesia sebenarnya tidak jauh dari apa yang di alami oleh penjara di Amerika Serikat dan India. Kekurangan dana, penghuni yang padat, ketrampilan, gaji dan moral petugas yang rendah sehingga suap dan pungutan liar merajalela, kekurangan tenaga profesional, prosedur pembinaan yang dilaksanakan secara srampangan oleh petugas, makanan yang jelek dan tidak memadai, kurangnya kegiatan-kegitan yang sifatnya mendidik, hukuman yang lama tanpa peninjauan oleh pengadilan, homoseksual yang keras, peredaran dan kecanduan narkoba, serta kejahatan-kejahatan lainnya di penjara, hukuman yang keras dan kejam terhadap pelanggaran peraturan dan ketegangan rasial yang seringkali menjurus ke arah kerusuhan massal merupakan permasalahan pokok yang dihadapi oleh penjara kita.
Simplikasi Permasalahan
Setiap peristiwa negatif yang terjadi di penjara seperti pelarian, kerusuhan, penyuapan, pungutan liar, kaburnya narapidana, seringkali terjadainya peristiwa negatif tersebut hanya diakibatkan oleh simplikasi dua keadaan sebagai permasalahan yaitu (1) Penjara yang padat (over crowded) karena jumlah narapidana tidak sebanding dengan ruangan/sel yang ada dan (2) Rasio petugas (sipir) penjara yang tidak cukup untuk melakukan pembinaan dan penjagaan.
Padahal dalam realitasnya untuk kasus di Indonesia, permasalahan yang mendorong terjadinya peristiwa negative bukan hanya hasil dari simplikasi dua keadaan sebagai permasalahan saja melainkan hasil dari akumulasi berbagai permasalahan lainnya seperti rendahnya gaji sipir dan moralitas sipir penjara, serta pelaksanaan prosedur tetap pembinaan dan penjagaan yang srampangan.
Rekomendasi
Permasalahan yang dihadapi oleh penjara di Indonesia merupakan permasalahan menyangkut harkat dan martabat kemanusiaan, beberapa rekomendasi sebagai langkah penyelesaian yang paling tepat dan segera dilaksanakan oleh (1) Janganlah kita malu-malu mencontoh beberapa langkah yang telah diambil oleh Kiran Bedi seorang perempuan yang sukses memimpin penjara terbesar di India dan dengan sukses pula menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di penjara tersebut.
(2) Yang lebih kongkrit lagi, bahwa penyelesaian masalah yang dihadapi oleh penjara di Indonesia tidak cukup hanya dengan menyelesaikan dua simplikasi masalah yaitu padatnya narapidana dan kurangnya rasio sipir/petugas yang mungkin dapat diselesaikan dengan membangun gedung (sedang dan sudah dilaksanakan) dan mengangkat sipir baru. Pengalaman membuktikan bahwa pembangunan fisik tanpa didukung oleh pembangunan manusia yaitu dengan memenuhi kebutuhan hidup minimum sipir (perut kenyang), dan integritas moral petugas yang handal adalah perbuatan yang mubazir. contoh : Gedung yang megah didukungan dengan sistem dan prosedur pengamanan yang ketat dan berlapis yang ada di Penjara Narkotika Cipinang (terbagus dam terketat dalam sejarah penjara di Indonesia sebagai penjara dengan sistem pengamanan maksimum), tanpa didukung sumberdaya manusia yang handal adalah suatu hal sia-sia.
Kaburnya Gunawan Santoso membuktikan hipotesa ini.

KORUPTOR dan PENJARA, SEBUAH DILEMMA

Prioritas pemberantasan korupsi yang diusung oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono ternyata menambah daftar baru jenis kejahatan di Indonesia yaitu kejahatan korupsi dan secara simetris berdampak pula terhadap munculnya narapidana dengan predikat/gelar baru sebagai penghuni penjara yaitu koruptor. Sampai akhir Februari 2006, di penjara Cipinang setidaknya 71 (tujuh puluh satu) orang terregistrasi/terdaftar sebagai narapidana dengan gelar koruptor.
Keberadaan koruptor di dalam penjara, di satu sisi merupakan salah satu indikator keberhasilan pemberantasan korupsi, di sisi lain keberadaan mereka di penjara justru menjadi dilemma tersendiri dalam tatacara pembinaan dan perlakuannya sehari-hari. Dipandang dari sudut manapun koruptor memiliki karakteristik yang sangat jauh berbeda dengan narapidana lainnya. Dengan kerangka berfikir yang lebih realitis dan pragmatis, tulisan singkat ini mencoba membuka wawasan lain tentang dilemma pembedaan dalam tatacara pembinaan dan pelayanan yang diberikann oleh para petugas penjara (sipier) terhadap para koruptor.
Dilemma dan realitas
Sistem pemasyarakatan sebagai dasar filosofis pelaksanaan pembinaan narapidana di Indonesia dibangun dari asumsi teori sosio kriminologis yang menyatakan bahwa kejahatan merupakan produk dari struktur masyarakat yang tidak memberikan kesempatan ekonomi sama kepada setiap individu dalam masyarakat tersebut (Anomie). Dalam struktur masyarakat demikian, individu yang tidak memiliki kesempatan ekonomi yang sama (masyarakat bawah) akan cenderung untuk melakukan penyimpangan/tindak kejahatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya/rasionalitas ekonomi.
Dari asumsi yang dibangun oleh teori tersebut, maka dalam tataran kebijakan pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai pedoman petugas penjara dalam melakukan pembinaan dan perawatan narapidana. Apabila dipelajari lebih lanjut, materi dalam undang-undang tersebut lebih banyak mengatur tentang tatacara pembinaan narapidana kelas bawah dengan 2 (dua) tujuan utama yaitu : (1) Menyadarkan mereka agar menyesali perbuatannya yang jahat dan, (2) Memberikan bekal ketrampilan agar setelah bebas dari penjara dapat hidup normal di tengah masyarakat, dalam arti mampu untuk mencari makan sendiri.
Namun demikian, dalam realitas sosialnya kejahatan bukan hanya milik masyarakat bawah (blue crime) seperti pencurian, pencopetan dan lain lian, tetapi juga milik masyarakat atas (white collar crime) seperti pencucian uang, korupsi, kejahatan komputer dan lain sebagainya. Dengan kondisi demikian maka, Sistem Pemasyarakatan dan UU No. 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan sebagai kerangka acuan pembinaan dan perawatan narapidana secara teoritis tentu tidak kompatibel/sesuai untuk menghadapi para koruptor di dalam penjara. Sungguh suatu dilemma berat yang harus dihadapi.
Sama dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di luar penjara. Narapidana di dalam Penjara sebagai miniatur masyarakat juga memiliki kondisi sosial ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan masyarakat di luar penjara. Perbedaan yang mencolok antara si kaya dan si miskin dalam hal fasilitas hidup di penjara merupakan fenomena yang wajar dan sering terjadi di dalam penjara mengingat dalam tataran masyarakat luas-pun kondisinya juga demikian. Di satu sisi, kemampuan negara untuk menyediakan berbagai macam fasilitas di dalam penjara yang sesuai dengan kemanusiaan (standard kebutuhan hidup minimum) masih sangat jauh dari harapan. Kondisi sel yang padat (over crowded), menu makanan yang jelek, sarana dan prasarana kesehatan dasar yang tidak memadai merupakan kondisi kehidupan dalam penjara sekarang ini. Padahal sejak tahun 1960-an Indonesia sudah meratifikasi SMR (Standard Minimun Rules For Treatment Of Offender) yang dikeluarkan PBB sebagai instrument internasional yang mengatur tentang standar fasilatas, peraturan narapidana dan tatacara pembinaan dan perlakuan yang harus dilakukan petugas penjara. Kemampuan negara untuk menyediakan fasilitas hidup yang wajar dan sesuai dengan nilai kemanusiaan terhadap seluruh narapidana merupakan kunci penyelesaian masalah perbedaan perlakuan dan fasilitas di dalam penjara. Kapasitas ruangan/sel untuk 10 orang narapidana diisi dengan 40 orang narapidana merupakan kondisi yang wajar dan sering terjadi di Indonesia. Penjara merupakan tempat penularan dan inkubasi berbagai macam penyakit berbahaya seperti HIV/AIDS, Hepatitis, TBC dan lain sebagainya.
Dar gambaran kondisi lembaga pemasyarakatan tersebut, satu langkah yang tidak bijaksana apabila petugas penjara menempatkan Probo Sutejo bersama-sama dengan 39 orang narapidana dalam satu sel sempit yang seharusnya hanya cukup untuk 10 orang. Bukankah negara tidak berhak membuat kondisi seorang narapidana lebih buruk daripada kondisi dia sebelum masuk penjara ?
Pemberdayaan dan Pembentukan Budaya Malu (Shaming)
Seorang koruptor di dalam penjara, memiliki kemampuan intelektual dan sumber daya jaringan yang lebih dibanding narapidana lainnya, bahkan dalam realitasnya kemampuan yang mereka miliki lebih besar dibanding dengan kemampuan yang dimiliki oleh petugas pembinanya. Dengan berbagai kelebihan tersebut, seorang koruptor disamping mendapatkan hukuman penjara dan denda sudah sewajarnya apabila mereka diberikan hukuman tambahan yang berupa kerja sosial yaitu dengan memberdayakan kemampuan mereka untuk turut serta dalam pembinaan narapidana lainnya di dalam penjara.
Dengan kerja sosial yang mereka lakukan, mereka dapat memahami, merasa malu (shaming) dan sadar bahwa korupsi merupakan perbuatan yang sangat merugikan keuangan dan stabilitas perekonomian negara yang dampaknya secara langsung dapat dilihat dari semakin meningkatnya angka kejahatan di masyarakat.
Pemberdayaan koruptor dalam pembinaan narapidana, dalam beberapa kasus sebenarnya sudah pernah dilaksanakan di beberapa penjara di Indonesia seperti Bob Hasan di Nusa Kambangan dengan pemberdayaan usaha kerajinan batu akik, Ricardo Gallael di Cipinang dengan usaha peternakan ayam bekerjasama dengan KFC (Kentucky Fried Chicken) dalam pemasaran.
Dalam prakteknya, pemberdayaan tersebut di atas bukan merupakan sebuah kewajiban/program rutin yang sustainable yang harus dilaksanakan terhadap para koruptor. Sistem pembinaan yang tidak kompatibel dan ketiadaan peraturan yang secara eksplisit mengatur/mendasari kegiatan tersebut merupakan kendala utama dalam pemberdayaan koruptor di dalam penjara. Padahal dengan pemberdayaan koruptor dalam pembinaan yang produktif setidak-tidaknya akan memberikan 4 (empat) manfaat besar bagi negara dan narapidana secara keseluruhan yaitu (1) Timbulnya rasa malu dan kesadaran dalam diri koruptor bahwa perbuatan korup merupakan perbuatan yang salah dan secara empiris merugikan masyarakat dan diri sendiri, (2) Upah yang diperoleh narapidana dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga dan diri mereka di dalam penjara. (3) Adanya pendapatan negara yang diperoleh dari kegiatan pembinaan produktif, dan tentu saja akan dikembalikan lagi dalam bentuk pembangunan gedung penjara dan penyediaan sarana lainnya, (4) Dengan keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembinaan yang produktif, merupakan satu pertimbangan untuk mendapatkan pemotongan masa hukuman (remisi) yang lebih besar, baik bagi koruptor maupun bagi narapidana lainnya, Bukankah semakin cepat narapidana bebas dari penjara maka semakin kecil pula negara menyediakan dana untuk mereka.
Pembedaan pembinaan dan perlakuan terhadap para koruptor di dalam penjara merupakan sesuatu yang wajar dan seharusnya memang wajib dibedakan mengingat dampak buruk dari kejahatan yang mereka lakukan. Pembedaan dalam arti yang positif, realistis dan pragmatis justru akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi pembinaan narapidana secara keseluruhan.